KEDUA
Kilas balik.
Yogyakarta, 13 Mei 2017.
Riuh cakap beberapa kepala mendominasi restoran cepat saji ini. Beberapa di antaranya ada yang sudah mendengkur sampai ada yang masih asyik melantur. Satu meja yang menarik netra, mereka perkumpulan kepala yang berdasi dan terlihat memiliki standar harga diri yang tinggi.
"Hidup Pak Wangsa!"
"Pak Wangsa tak bersalah!"
Mereka bersorai merayakan atas sosok insan yang masih renyah tertawa seolah telah mendapat sebuah kemenangan. Beberapa kepala di meja masing-masing dijamin terganggu oleh kehadiran mereka yang sedari awal tak lelah membuat bising.
'Tak!'
Suara benturan gelas sloki dan meja membuat beberapa kepala yang sedang berbincang dengan nikmat pun terperanjat. "Hahahaha, perkumpulan sampah di ujung memang tak tahu diuntung," ujar Andin dengan penuh penekanan di setiap ucapan yang ia lontarkan.
"Mbak Ndin udah," ucap Ilham sembari memegangi bahunya guna menghindari pertikaian, karena Andin sudah dalam posisi berdiri.
"Saya nggak kaget kok kalau hasil persidangan memang sudah diatur sejak awal, haha." Andin mendekat ke arah perkumpulan itu sembari mabuk karena pengaruh alkohol yang terteguk.
"Yah ... tanpa kekuasaan dunia ini akan menginjakmu," Andin terlihat jangar sembari sesekali tergelak.
"Tutup mulutmu, bajingan!" seru salah satu perkumpulan itu dan berusaha melayangkan bogeman. Namun, gelagatnya telah terhalang oleh tangan dan deheman Wangsa yang diangkat menandakan arahan untuk memberhentikan perkelahian. "Apa yang kamu risaukan ya, Nona?"
Mendengar penuturan Wangsa, Andin hanya terkekeh sembari menjawab, "hehehehe, hati-hati nggeh Pak, walaupun Anda pemerintah ataupun pejabat besar, hukum tetaplah hukum di mata saya. Kali ini Anda lolos oleh kedudukan Anda, tapi bila saya menemui Anda tidak taat, bukan bui yang anda lihat melainkan liang lahat."
Percakapan mereka diakhiri dengan Andin yang memilih untuk pergi dan Wangsa serta para rekannya hanya terkikik geli.
Tepat tengah malam Andin tiba di apartment, ia bersenandung kecil lantaran tengah malam ini adalah hari pentingnya dengan sang suami, merayakan ulang tahun pernikahan mereka berdua. Suara tombol electronic key di pintu mendominasi kediaman Andin di Uttara The Icon Apartment, Sleman, Yogyakarta ini.
"Sayang, aku pul-" ucapannya terpotong ketika netranya menyaksikan insiden yang berada di depannya. Kardus yang berisi kue dan wine yang ia genggam terjatuh. Griya yang ia tinggali telah kisruh. Meja terbalik, jahitan sofa amburadul, vas bunga kesayangannya terserak. Darah berhenti mengalir tepat di jari kakinya. Andin berjalan mendekati suaminya yang telah terkapar, ia menatapnya nanar.
Ia merogoh ponsel yang berada di saku jaketnya, menelpon rekan sekantornya untuk meminta bantuan. Sudah terhubung namun masih berdering, ia berdecak kesal lantaran baterai ponselnya mendadak berwarna merah. Ia mambalikkan diri untuk mengambil charger di dalam bilik kamar. Namun belum ia sampai di depan pintu, seseorang menyerang.
SRAT!
"ARGH!" raung Andin dengan lantang nan terdengar malang. Perutnya tertikam oleh belati membuat darahnya berderai di lantai. Ponselnya masih berada di dalam genggaman.
"Halo Mbak? Mbak kenapa?"
"Ham, rene nang¹ apartment, cepet!"
Ia meraung kembali ketika seseorang memukul kepalanya menggunakan tongkat. Ponselnya terjatuh dan tersampar.
"Mbak ono opo to sakjane ki?²"
"Halo, Mbak-"
Suara Ilham terputus karena mungkin baterai ponselnya yang telah habis. Pandangan Andin kabur, tapi ia berusaha sekeras mungkin untuk melihat siapa bajingan itu. Tertangkap, ia melihat seseorang dengan menggunakan topeng samar-samar.
Orang tersebut rupanya seorang jejaka. Ia mendekat dan mengarahkan belati ke arah netranya. Namun, Andin memilih mengambil pecahan beer yang berada di dekatnya untuk menangkas tangan jejaka itu secara cergas. Andin mengarahkan ke lengan jejaka itu sehingga belati yang tergenggam jatuh dan ia mengaduh.
Yogyakarta, 13 Mei 2017.
Riuh cakap beberapa kepala mendominasi restoran cepat saji ini. Beberapa di antaranya ada yang sudah mendengkur sampai ada yang masih asyik melantur. Satu meja yang menarik netra, mereka perkumpulan kepala yang berdasi dan terlihat memiliki standar harga diri yang tinggi.
"Hidup Pak Wangsa!"
"Pak Wangsa tak bersalah!"
Mereka bersorai merayakan atas sosok insan yang masih renyah tertawa seolah telah mendapat sebuah kemenangan. Beberapa kepala di meja masing-masing dijamin terganggu oleh kehadiran mereka yang sedari awal tak lelah membuat bising.
'Tak!'
Suara benturan gelas sloki dan meja membuat beberapa kepala yang sedang berbincang dengan nikmat pun terperanjat. "Hahahaha, perkumpulan sampah di ujung memang tak tahu diuntung," ujar Andin dengan penuh penekanan di setiap ucapan yang ia lontarkan.
"Mbak Ndin udah," ucap Ilham sembari memegangi bahunya guna menghindari pertikaian, karena Andin sudah dalam posisi berdiri.
"Saya nggak kaget kok kalau hasil persidangan memang sudah diatur sejak awal, haha." Andin mendekat ke arah perkumpulan itu sembari mabuk karena pengaruh alkohol yang terteguk.
"Yah ... tanpa kekuasaan dunia ini akan menginjakmu," Andin terlihat jangar sembari sesekali tergelak.
"Tutup mulutmu, bajingan!" seru salah satu perkumpulan itu dan berusaha melayangkan bogeman. Namun, gelagatnya telah terhalang oleh tangan dan deheman Wangsa yang diangkat menandakan arahan untuk memberhentikan perkelahian. "Apa yang kamu risaukan ya, Nona?"
Mendengar penuturan Wangsa, Andin hanya terkekeh sembari menjawab, "hehehehe, hati-hati nggeh Pak, walaupun Anda pemerintah ataupun pejabat besar, hukum tetaplah hukum di mata saya. Kali ini Anda lolos oleh kedudukan Anda, tapi bila saya menemui Anda tidak taat, bukan bui yang anda lihat melainkan liang lahat."
Percakapan mereka diakhiri dengan Andin yang memilih untuk pergi dan Wangsa serta para rekannya hanya terkikik geli.
◌ ◌ ◌
Tepat tengah malam Andin tiba di apartment, ia bersenandung kecil lantaran tengah malam ini adalah hari pentingnya dengan sang suami, merayakan ulang tahun pernikahan mereka berdua. Suara tombol electronic key di pintu mendominasi kediaman Andin di Uttara The Icon Apartment, Sleman, Yogyakarta ini.
"Sayang, aku pul-" ucapannya terpotong ketika netranya menyaksikan insiden yang berada di depannya. Kardus yang berisi kue dan wine yang ia genggam terjatuh. Griya yang ia tinggali telah kisruh. Meja terbalik, jahitan sofa amburadul, vas bunga kesayangannya terserak. Darah berhenti mengalir tepat di jari kakinya. Andin berjalan mendekati suaminya yang telah terkapar, ia menatapnya nanar.
Ia merogoh ponsel yang berada di saku jaketnya, menelpon rekan sekantornya untuk meminta bantuan. Sudah terhubung namun masih berdering, ia berdecak kesal lantaran baterai ponselnya mendadak berwarna merah. Ia mambalikkan diri untuk mengambil charger di dalam bilik kamar. Namun belum ia sampai di depan pintu, seseorang menyerang.
SRAT!
"ARGH!" raung Andin dengan lantang nan terdengar malang. Perutnya tertikam oleh belati membuat darahnya berderai di lantai. Ponselnya masih berada di dalam genggaman.
"Halo Mbak? Mbak kenapa?"
"Ham, rene nang¹ apartment, cepet!"
Ia meraung kembali ketika seseorang memukul kepalanya menggunakan tongkat. Ponselnya terjatuh dan tersampar.
"Mbak ono opo to sakjane ki?²"
"Halo, Mbak-"
Suara Ilham terputus karena mungkin baterai ponselnya yang telah habis. Pandangan Andin kabur, tapi ia berusaha sekeras mungkin untuk melihat siapa bajingan itu. Tertangkap, ia melihat seseorang dengan menggunakan topeng samar-samar.
Orang tersebut rupanya seorang jejaka. Ia mendekat dan mengarahkan belati ke arah netranya. Namun, Andin memilih mengambil pecahan beer yang berada di dekatnya untuk menangkas tangan jejaka itu secara cergas. Andin mengarahkan ke lengan jejaka itu sehingga belati yang tergenggam jatuh dan ia mengaduh.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Terlihat berang, jejaka itu kembali menyerang, tetap pada bagian netra. Namun Tuhan masih bersama Andin, mobil polisi sudah terdengar dari depan pos satpam apartment dan jejaka itu pergi. Lalu bergeraklah tangannya untuk menjadi tumpuan agar bisa kembali berdiri. Namun telapak tangannya tak sengaja menindih sesuatu. Segeralah ia mengangkat tangan dan menemukan gantungan kunci berbentuk kalajengking. Terheran lantaran sang suami tak pernah memiliki gantungan kunci berbentuk seperti itu. Lekaslah ia masukkan ke dalam saku, siapa tahu dengan adanya benda ini nantinya akan lebih membantu.
BalasHapus; Bausastra :
¹ rene nang apartment : sini ke apartment.
² ono opo to sakjane ki? : ada apa sih sebenarnya tuh?
Sekiranya ada koreksi, sila sampaikan di sini. Jika sudah diberi, akan langsung #Asha revisi.
BalasHapus